Mencari Kayu Bakar di Hutan Lewotobi

    Jalan Trans Flores dengan latar gunung Lewotobi (Sumber/seruu.com)

Jalan Trans Flores dengan latar gunung Lewotobi (Sumber/seruu.com)

Mei 1995 saya menamatkan sekolah dasar di SDK Don Bosco 3 Kupang dan kedua orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke SMPK Sactissima Trinitas Hokeng, sebuah SMP Katolik yang dikelola oleh biarawati SSpS (Servae Spiritus Sanctus) atau dalam bahasa Indonesia berarti Suster Misi Abdi Roh Kudus yaitu sebuah ordo suster yang berkarya dalam berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan. Keputusan ini dilakukan karena kelakuan saya yang sangat nakal sehingga –menurut mereka– saya harus dididik di dalam asrama yang penuh kedisiplinan.

Asrama yang letaknya 55 km dari kota Larantuka, Flores Timur ini terletak di desa Hokeng Jaya, sebuah desa di bawah kaki gunung Lewotobi dan diapit oleh kebun kopi peninggalan Belanda yang membentang dari timur hingga ke barat. Sekolah tersebut menempati area yang sangat luas bersama asrama putera (Emaus II), Asrama Puteri (St. Agnes), Biara Suster SSpS, Mess karyawan dan karyawati, kuburan para suster sejak zaman Belanda serta area kebun buah dan bunga yang cukup luas. Suasana malam di lingkungan sekolah ini sangat tenang karena letaknya agak jauh dari jalan raya lintas Flores, namun sedikit mencekam karena bersebelahan dengan area pemakaman suster yang sebagian sudah meninggal sebelum kemerdekaan RI.

Pada tahun itu saya resmi menjadi siswa baru SMPK Sactissima Trinitas dan anak asrama Emaus II –Ada juga Emaus I dan III yang terletak di luar kompleks susteran– meski tangisan Ibu dan adik bungsu yang baru berumur 3 tahun membuat saya berat berpisah dengan mereka yang turut mengantar. Walaupun begitu, saya berusaha beradaptasi dengan kehidupan asrama yang benar-benar baru dan asing. Pada awal kehidupan di asrama surat dari ibu selalu saya simpan di bawah bantal dan dibaca berulang kali, namun lama kelamaan hal itu tidak saya lakukan lagi karena sudah memiliki banyak teman.

Hidup mandiri di asrama untuk anak usia 12 tahun memang cukup berat, namun perlahan saya berusaha melakukannya termasuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak di asrama. Kayu bakar menjadi kebutuhan pokok di asrama kami karena perabotan dapur –dandang untuk memasak nasi, kuali, dll– rata-rata berukuran besar karena porsinya sangat banyak untuk sekitar 100 orang. Berbeda dengan asrama puteri yang kebutuhan kayunya dipasok oleh para karyawan susteran (biara suster), kebutuhan kayu di asrama putera dicari sendiri oleh anak asrama.

Pencarian kayu bakar tergantung informasi stock kayu dari anak asrama yang bertugas di pos belah kayu. Pos belah kayu terdiri dari seorang ketua, wakil dan beberapa anggota yang memiliki postur tubuh (harus) kekar karena bertugas membelah kayu yang dikumpulkan dengan menggunakan kapak dan parang. Jika stock kayunya menipis maka segenap anak asrama dikerahkan oleh bapak asrama untuk mencari kayu di dua tempat yaitu di kebun kopi yang berada di sekitar jalan trans Flores atau di hutan yang membatasi asrama kami dengan gunung Lewotobi. Biasanya kami disuruh mencari kayu di dalam hutan Lewotobi ketimbang di area kebun kopi. Saya dan beberapa teman yang lahir dan dibesarkan di kota agak kesulitan mencari kayu, namun kami belajar dari teman-teman yang berasal dari desa karena mereka sudah terbiasa mencari kayu di dalam hutan.

Waktu pencarian kayu ini biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.00 wita setelah bagun tidur siang hingga selesai . Rata-rata pencarian kayu bakar ini berlangsung sampai pukul 18.00 atau lebih tergantung orang yang terakhir membawa pulang kayu. Beruntung bagi yang cepat menemukannya karena bisa segera pulang dan melakukan aktivitas lain di asrama. Biasanya bapak asrama dan ketua asrama akan menunggu di gerbang asrama untuk mencatat kayu yang dibawa oleh kami dan jika tidak memenuhi syarat –kayunya sedikit, kecil, atau jenis kayu yang tidak bisa dipakai untuk memasak– maka yang membawanya akan disuruh kembali ke hutan untuk mencari kayu yang memenuhi syarat. Pencatatan ini juga bertujuan agar semua anak asrama benar-benar mencari kayu bakar dan akan ketahuan jika ada yang tidak menjalankannya. Oleh karena kami (kelas I) belum mengenal area hutan maka kami mengikuti kakak kelas dan setelah masuk ke dalam hutan baru kami berpencar mencari kayu bakar yang dibutuhkan.

Kondisi Hutan

Gunung Lewotobi Perempuan

gunung lewotobi perempuan dan laki-laki (Sumber/parbleu.biz)

Gunung Lewotobi tampak di kejauhan (Sumber/atamaran.blogspot.com)

Hutan Lewotobi dan pemukiman dibatasi oleh kebun warga yang ditanami pohon kemiri, kopi, kakao (coklat) serta beberapa ladang jagung, singkong, kacang tanah dan jenis tanaman ladang lainnya. Hutan Lewotobi merupakan tipe hutan muson seperti hutan di dataran Flores pada umumnya yang
ditumbuhi Jati dan kayu putih namun jika masuk lebih dalam ke tengah hutan maka kondisinya cukup lebat seperti hutan hujan tropis karena beberapa area tidak ditembusi oleh sinar matahari. Sejujurnya saya tidak memahami jenis hutan di Indonesia, namun kira-kira tipe hutan Lewotobi seperti itu. Semak belukar memenuhi seisi hutan dan tumbuhan putri malu sering melukai kaki kami yang hanya menggunakan sandal dan celana pendek.

Banyak daerah aliran sungai (DAS) yang sudah kering terdapat di dalam hutan ini membuat saya sering membayangkan kami sebagai tentara yang bertempur dengan musuh dan DAS tersebut seperti parit yang menjadi pertahanan kami. Petualangan yang semakin hari semakin saya nikmati karena menembus semak belukar dan pepohonan memberikan sensasi tersendiri.

Dalam mencari kayu bakar kami biasanya berkelompok dan kayu yang kami cari bukan ranting-ranting pohon –ada juga yang mengumpulkan ranting pohon dan diikat menjadi banyak– melainkan kayu gelondongan yang sudah keropos, jadi tinggal dirobohkan atau kayu yang sudah patah dari induknya. Kayu yang cukup besar ini dipikul oleh 2 hingga 4 orang –ada juga yang mencapai 6 orang– tergantung ukuran kayu dan hal ini “sah” sebagai kayu yang ditemukan oleh pemikul tersebut.

Oleh karena jalan yang tidak rata –penuh tanjakan dan turunan– serta harus melewati semak dan rintangan lainnya maka bahu kami sering lecet karena benturan kayu yang dipikul. Jika capek maka kami akan beristirahat sebentar baru melanjutkan perjalanan kembali. Sesekali hewan-hewan seperti kadal dan tikus hutan menembus daun kering dan semak belukar yang membuat kegaduhan di tengah kensunyian. Menurut warga setempat banyak juga ular yang memenuhi hutan Lewotobi, namun untungnya saya tidak pernah dipatuk ular karena kami tidak terlalu jauh memasuki hutan. Hutan ini juga menjadi habitat babi hutan yang kadang-kadang masuk ke dalam desa ketika warga membuka ladang dengan membakar. Terkadang suara burung juga terdengar di sudut-sudut hutan namun saya lupa akan jenis burung tersebut.

Tokek juga banyak memenuhi hutan ini dan suaranya paling dominan memecah kesunyian hutan. Kadang-kadang kami menangkapnya dan dibawa pulang untuk dimasak dan dimakan sebagai lauk tambahan. Selain tokek, kami juga sering menemukan jamur merang untuk dibawa pulang. Jamur merang tersebut biasanya digoreng atau dibakar dan juga dijadikan lauk tambahan. Rasanya seperti daging ayam jadi kami ketagihan untuk mencarinya setiap kali masuk hutan. Beberapa buah hutan juga sering kami konsumsi berupa strawberry hutan yang manis, buah bolo –saya tidak tahu bahasa Indonesianya– yang berwarna ungu, bertekstur padat, rasanya tidak terlalu manis serta kandungan airnya sedikit. selain kedua buah tersebut, ada juga buah kesambi yang rasanya asam. Buah ini akan terasa lebih enak jika dimasukkan ke dalam botol kemudian dicampur dengan air dan gula pasir. Setelah dicampur, botol tersebut dikocok-kocok dan airnya diminum serta buahnya dimakan, sungguh nikmat.

Hutan Lewotobi seringkali mengalami kebakaran karena cara bercocok tanam masyarakat yang berpindah-pindah di sekitar lereng gunung Lewotobi. Masyarakat juga sering membakar hutan saat berburu untuk memancing hewan buruan keluar dari tempat persembunyiannya. Selain perilaku masyarakat, kebakaran juga sering terjadi karena alam yaitu panasnya matahari dan lahar gunung Lewotobi. Gunung Lewotobi merupakan gunung api kembar –disebut gunung perempuan (1.548 m) dan laki-laki (1.703 m)– yang puncaknya berupa lautan pasir vulkanik seperti gunung merapi di Yogyakarta. Oleh karena itu kami dilarang untuk mendaki gunung tersebut karena berbahaya. Kami pernah mencari kayu terlalu jauh ke dalam hutan dan menemukan sejumlah area sedang terbakar –mungkin karena panas– dan beruntung kami tidak terjebak di dalamnya.

Masalah Saat Mencari Kayu Bakar

Selama 3 tahun mencari kayu bakar di hutan Lewotobi saya tidak pernah mengalami masalah, beruntung lancar-lancar saja kecuali pernah kemalaman karena sulit menemukan kayu yang tepat untuk dibawa pulang. Beberapa teman saya pernah mengalami masalah yang bervariasi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan. Ketidaksengajaan disebabkan karena mereka kurang berhati-hati sehingga ada yang anggota tubuhnya terluka karena tergores ranting pohon atau yang lainnya. Ada juga yang disengat lebah karena kayu yang dipikulnya membentur sarang lebah sehingga mereka dikejar oleh sekelompok lebah. Kejadian ini menyebabkan mata salah seorang di antaranya menjadi bengkak selama beberapa hari.

Pencarian kayu bakar pun harus memiliki etika dan kejujuran karena perilaku yang tidak jujur dapat mendatangkan bahaya. Beberapa teman saya yang malas mencari kayu bakar di dalam hutan memutuskan untuk mengambil kayu yang digunakan oleh warga sebagai batas ladangnya. Ternyata hal ini diketahui oleh pemilik ladang sehingga dengan penuh amarah pemilik ladang mengejar mereka sambil mengacungkan parang. Kayu tersebut sudah dibuang namun pemilik ladang tetap mengejar mereka hingga ke asrama. Amarah pemilik ladang berhenti setelah ditenangkan oleh bapak asrama yang juga meminta maaf atas kesalahan anak asramanya. Mereka dimarahi oleh bapak asrama sekaligus menjadi bahan lelucon karena berlari terbirit-birit dengan wajah yang pucat. Pengalaman yang selalu saya kenang setiap saat. Salam

Leave a comment